âSegala sesuatu yang terjadi di alam semesta
ini pada hakikatnya adalah afâal (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai
baik maupun buruk pada hakekatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat
pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain
Allah.â ââŚAfâal Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia
menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati
yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena.
Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma taâmalun (QS. Ash-Shaffat :
96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau
perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah.
Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal : 17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni afâal Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-âaliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda : âla tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu zarah pun melainkan atas izin Allah.â (Suluk Syaikh Siti Jenar, I, hlm. 182-283).
Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal : 17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni afâal Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-âaliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda : âla tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu zarah pun melainkan atas izin Allah.â (Suluk Syaikh Siti Jenar, I, hlm. 182-283).
âApakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun
bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan
Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya
seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak
dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan
juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang
artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta
sesudah dia membuat dunia.â (Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51).
Dari pernyataan Syaikh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syaikh
Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang
sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga
memiliki muatan makna pernyataan sufistik, âBarangsiapa mengnal dirinya, maka
ia pasti mengenal Tuhannyaâ. Sebab bagi Syaikh Siti Jenar, manusia yang utuh
dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam
semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab
manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran
adanya jagat besar termasuk semesta.
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah]
bagi orang-orang yang yakin, dan [juga] pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu
tiada memperhatikan?"
[Q.S. Adz-Dzariat:20-21]
"Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang
terang; maka Barangsiapa melihat [kebenaran itu], maka [manfaatnya] bagi
dirinya sendiri; dan barangsiapa buta [tidak melihat kebenaran itu], maka
kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku [Muhammad] sekali-kali bukanlah
pemelihara[mu]". [Q.S. Al-An'am:104]
Bagi Syaikh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang
intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan Zat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga
adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh
seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman
kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam
keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam afâal Allah. Tentu
ke-Esa-an bukan sekedar afâal, sebab
afâal digerakkan oleh Zat. Sehingga afâal yang menyatu menunjukkan adanya
ke-Esa-an Zat, ke mana afâal itu dipancarkan.
Dari pada melelahkan dan membingungkan yakini
saja dan rasakan tuhan itu ada. LAM YAJID LAM YAZUG (apabila kamu merasa
tahulah kamu).
Apabila kamu merasa garam tahulah asin, merasa gula tahulah kamu
manis. Rasa inilah rahasia tuhan. Diri yang diam
inilah tajallinya Tuhan. Bukan Tuhan yang tajalli, akan tetapi Rahasia Diri
Tuhan ini yang tajalli : satu dengan jasad.
Menurut pandangan syariat : orang yang tajalli Rahasia Diri
Tuhan satu dengan jasadnya itu mati. Akan tetapi menurut pandangan Rabbani,
tidak mati. Mengapa tidak mati? Karena Ruh Qudus dan jasad tidak becerai. Selamat
Membaca Artikel ini BACA POST : SEPULUH TIPS YANG DREKOMENDASIKAN
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH KEPADA ANDA JIKA BERKENAN BERKOMENTAR BLOG INI.....