Menurut
Syaikh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah
juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun
itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah
ke-Diri-an manusia itu.
Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang
membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam
otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi
kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis.
Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh
al-idhafi.
Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka
kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari
manusia, pandangan itu keliru dan sesat. Pengetahuan yang tidak dapat
dijangkau oleh Akal, masih mampu dijangkau oleh Hati. Hati yang suci bersih
mengeluarkan cahaya-nya yang dinamakan NUR KALBU.
Nur Kalbu menerangi akal,
dengan cahaya Nur Kalbu ini, akal dapat menyambung kembali perjalanannya dari ‘stasiun
satu ke stasiun berikutnya’. Perjalanan akal yang diterangi
oleh cahaya Nur Kalbu mampu menyingkap perkara-perkara yang gaib, dan kemudian
beriman daripada-nya walaupun biasa-nya akal manusia umum me-nafikan-nya.
Terdapat
perbedaan yang mendasar antara akal biasa dengan akal yang diterangi oleh Nur. Akal Biasa beriman kepada Allah s.w.t hanya
berdasarkan dalil-dalil yang nyata dan logika saja, sedangkan akal yang beserta
Nur mampu menyelami kedalaman atau kebalikan dari yang nyata yaitu perkara
gaib, dan beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan pengalaman tentang
perkara-perkara gaib.
Walaupun perkara gaib itu tidak dapat diterima oleh
akal biasa, tetapi akal yang telah mendapatkan pancaran Nur ini tidak sedikit
pun ragu-ragu terhadapnya. Pengetahuan yang keluar dari pancaran atau pergerakan Nur ini dinamakan
ilmu Hakekat, ilmu Makrifat, ilmu Rabbani, ilmu… ilmu…
Walau apa pun Istilah yang di-guna-kan, ia adalah
pengetahuan tentang Ketuhanan yang didapati dengan cara mengalami sendiri
tentang hal-hal ketuhanan, bukan menurut pembicaraan orang lain, dan juga bukan
menurut sangkaannya sendiri.
Hatilah yang mengalami hal-hal tersebut dan
pengalaman ini dinamakan pengalaman rasa, zauk atau hakekat. Apa yang dialami
oleh hati tidak dapat dilukiskan
atau dibahasakan. Lukisan dan bahasa hanya sekedar
menggerakkan pemahaman sedangkan hal yang sebenar-nya adalah jauh berbeda.
Jika hal pengalaman hati dipegang pada lukisan dan
bahasa, maka seseorang itu akan menjadi KELIRU. Jika lukisan dan simbol
diiktikadkan sebagai hal ketuhanan maka yang demikian adalah KUFUR!
GOLONGAN PERTAMA adalah orang yang menguasai dengan
terlebih dahulu memasuki bidang pembelajaran tentang Tauhid dan latihan
penyucian hati menurut tarekat tasauf. Pembelajaran dan latihan yang mereka
lakukan tidak membuka bidang hakekat secara otomatis. Ini membuat mereka sekedar mengerti saja akan nilai dan kedudukan ilmu
gaib yang sukar diperolehi itu.
Mereka hanya dapat belajar, melatih diri, kemudian
menanti dan terus menanti. Jika Allah s.w.t berkenan maka di-anuhgrah-kan cahaya Nur yang menerangi
hati si murid itu. Si murid itu pun akhirnya mengalami dan berpengetahuan tentang hakekat. Pengetahuan yang diperoleh itu sangat berharga
baginya, oleh karena itu dijaga dan dipelihara benar-benar oleh-nya, bahkan
untuk menceriterakan kepada orang BIASA mungkin tak mau.
GOLONGAN KEDUA adalah tidak melalui proses
pembelajaran dan latihan seperti golongan pertama. Yaitu secara Laduni (seperti
makrifatnya faraj dan zakar). Golongan ini tiba-tiba saja dibukakan hakekat kepada mereka (hanya Allah s.w.t mengetahui mengapa Dia berbuat
demikian, tapi sesungguhnya ada alasanya bahwa inilah hal yang telah
di-AMAL-kan oleh orang tua mereka yang memahami pengetahuan ilmu Nisai). Oleh
sebab mereka memperoleh-nya dengan mudah, maka mereka menyangkanya sebagai ilmu
biasa. Lantaran mereka memahaminya mereka menyangka orang lain juga biasa
memahaminya. Sebab itu mereka biasa saja menceriterakan ilmu tersebut di
hadapan orang biasa.
Oleh karena ilmu ini tidak seperti ilmu BIASA yang
dapat diceritakan kecuali dengan ibarat, maka kemungkinan yang akan timbul
adalah :
- Karena kebanyakan orang melihat latar belakang orang “tersebut” tidak mempunyai dasar agama yang kuat, bukan orang alim bahkan cenderung “BIASA-BIASA” saja, maka mereka kurang menanggapinya.
- Kemungkinan ada juga orang yang mau menanggapi, tetapi tanggapan itu tertuju kepada ibarat bukan kepada yang di-ibarat-kan.
- Atau mungkin sudah menjadi ke-BIASA-an orang pada umumnya yang hanya mau menanggapi kepada orang yang bukan BIASA-BIASA??? Baca juga Hakekat-sholat-adalah-kenikmatan
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH KEPADA ANDA JIKA BERKENAN BERKOMENTAR BLOG INI.....