MENGULAS SEKELUMIT TENTANG POKOK-POKOK AJARAN TOKOH SUFI YANG LUAR BIASA

SIULAN TRIBUN MANIA- Buya Hamka, dalam bukunya Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, mengulas sekelumit tentang pokok-pokok ajaran tokoh sufi yang luar biasa ini.
Dzun-Nun Al-Mishri banyak menambahkan jalan untuk menuju Allah dan memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang konsep ma'rifat (mengenal Allah). Apa yang beliau tuju adalah "mencintai Allah, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang telah diturunkan, dan takut akan terpaling jalan."

Ketika ditanya apa sesungguhnya hakikat cinta tersebut, Beliau menjawab: "Bahwa engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohonkan ridha-Nya. Engkau tolak apa-apa yang merintangimu dari jalan menuju Dia. Engkau tidak takut akan kebencian orang yang membenci. Engkau tidak mementingkan diri dan melihat diri sendiri, oleh karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya adalah lantaran engkau melihat diri sendiri."

"Orang yang arif adalah orang yang bangga dalam kefakirannya. Bila disebutkan asma Allah, ia bangga. Bila disebutkan nama dirinya, ia merasa fakir."

"Bukanlah orang yang 'berisi' (berpengetahuan) orang yang sungguh-sungguh menuntut dunia, sementara meringankan urusan akhiratnya. Bukan orang yang lekas marah di waktu harus memaafkan, dan takabbur ketika harus tawadhu'. Bukan orang yang kehilangan taqwa karena labanya, bukan orang yang marah ketika mendengar ia diperkatakan, dan bukan orang yang zuhud pada perkara yang disukainya saja, dan bukan orang yang meminta orang lain mementingkannya. Bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya, dan mengingat Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya. Bukan pula orang yang mengumpulkan berbagai ilmu mengenal Tuhan tapi lebih mendahulukan hawa nafsunya. Bukan pula orang yang sedikit malunya di hadapan-Nya padahal Allah tetap menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (yakni syaithan). Bukan orang yang tak sanggup membuat muru'ah (menjaga martabat dan budi pekerti sehingga tidak janggal atau salah dalam pergaulan) menjadi pakaian, adab menjadi perisai, dan taqwa menjadi perhiasan. Bukan pula orang yang mengambil ilmu pengetahuan hanya untuk berbangga dan menyombongkan diri dalam majelisnya."

Cinta kepada Allah
Dikisahkan pula, suatu hari Dzun-Nun bertemu dengan seorang Rahib. Beliau bertanya pada Rahib itu, "Apa arti cinta menurut pendapat tuan?" – sebab seorang sufi besar tiada akan enggan menerima hikmah dari orang lain, meski berbeda agama. Rahib itu pun menjawab, "Cinta sejati tak mau dibelah dua. Kalau cinta telah tertumpah pada Allah, tidak ada lagi cinta kepada yang lain. Kalau cinta tertumpah pada yang lain, tidaklah mungkin disatukan cinta itu kepada Allah. Sebab itu tafakurlah, selidiki dirimu, siapakah yang lebih engkau cintai!"

Lalu Dzun-Nun meminta pula diterangkan tentang inti sari cinta. Rahib itu menjawab, "Akal pergi, air mata jatuh, mata tak mau tidur, rindu dendam memenuhi jiwa, dan kecintaan berbuat sekehendaknya."

Setelah itu, kata Dzun-Nun pula, "Kami pun berpisah. Beberapa masa kemudian ketika aku menunaikan haji di Mekkah, kulihat Rahib itu sedang thawaf. Kutemui dia, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari dahulu. Dia berkata kepadaku, "Hai Abu‘l Faidh! Janji perdamaian telah ditandatangani, pintu pun telah terbuka, dan Dia telah menganugerahiku jalan memilih Islam. Sebab apa yang kukatakan kepadamu tempo hari adalah kata-kata yang rupanya oleh bumi tak terpikul dan oleh langit tak tertahan, bukit pun tak dapat menanggungnya. Hanya laki-laki yang tabah!"

Kesimpulan ajaran Beliau adalah sebuah kunci kehidupan di dunia, yakni berjalan pada garis yang ditentukan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan menjadi insan yang takut terpaling dari garis ketentuan itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwat. Kata Beliau pula, "Alamat cinta kepada Allah adalah mengikuti langkah Muhammad SAW dalam mencintai-Nya, baik dalam budinya atau perbuatannya, menuruti titahnya dan menghentikan apa-apa yang dilarangnya, dalam garis yang ditentukan-Nya."

Taubat dan Ma'rifat
Taubat menurut Beliau ada dua macam: "Taubat orang awam, yakni dari dosa; dan taubat orang khawash (khusus), yaitu dari kelalaian."

Ma'rifat pun ada tiga macam. Ma'rifat mukmin biasa, ma'rifat ahli bicara (mutakallimin) dan hukama (filsuf), dan ma'rifat Waliullah yang dekat kepada Allah dan kenal akan Allah dalam hatinya. Ma'rifat inilah yang setinggi-tinggi martabat.

Dalam pembagian ini, jelaslah ketiga jenis ma'rifat itu. Orang mukmin-biasa mengenal Allah karena memang demikianlah ajaran yang diterimanya. Orang filsuf dan mutakallimin mencari Allah dengan perjalanan akalnya. Dan oleh perhitungan akal dan manthik, maka sampailah mereka kepada adanya, tapi belum tentu dirasakan lezatnya. Tapi orang-orang Muqarrabin, mencari Allah dengan pedoman cinta. Yang lebih diutamakan adalah ilham, atau faidh (limpah kurnia Allah), atau kasyaf (dibuka Allah hijab batin dalam alam keruhanian). Di sana, akal tak berjalan lagi, karena sampai di derajat mustawa (bersemayam).

Pernah ditanyakan orang kepada Beliau, "Dengan jalan apa engkau mengenal Tuhanmu?" Beliau menjawab, "Aku mengenal Tuhanku adalah dengan Tuhanku sendiri. Kalau bukan Tuhanku, tidaklah aku mengenal-Nya."

Itulah tauhid yang semurni-murninya.

Beliau pun menambahkan penjelasan tentang cinta, yakni suatu cinta timbal balik antara Khalik dengan makhluk, antara yang mencintai dengan yang dicintai. Dengan cinta seperti inilah si hamba tertarik, lebih dari tarikan besi berani kepada besi biasa, kian lama kian mendekat kepada yang dicintai itu sehingga akhirnya "bersatu", tenggelamlah zatnya ke dalam zat Tuhannya. Ajaran ini hanya dapat dirasakan setelah menempuh tingkatan-tingkatan (maqam) tertentu. Begitulah menurut Beliau, cinta semacam ini hanya dapat dirasakan, dan sia-sia kalau diajarkan – harus dirahasiakan dari orang yang hanya mengenal arti cinta secara maddi (yang disaksikan oleh panca indera). Baca Juga : Pengertian-manajemen-pemasaran

Pandangan cinta dan pengertian (mahabbah dan ma'rifat) inilah yang meninggalkan jejak yang sangat nyata bagi para tokoh besar tasawuf yang datang kemudian, seperti Tustari (wafat 898 M), Al-Nakhsyabi (wafat 859 M), Ibnu Al-Jalaak dari negeri Syam yang pernah belajar sendiri kepada Beliau, dan Al-Khazzaar (wafat 901 M) salah seorang sahabat Beliau.

Wallahu a’lam. [STM]


Comments

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Kirim E-mail anda dapatkan artikel berlangganan gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SIULAN TRIBUN MANIA ||| siulantribunmania@gmail.com

☇POPULAR POST

MAN ARAFAH NAFSAHU FAKAD ARAFAH RABBAHU

AL-GHAZALI DAN JIDAT HITAM

SELAMAT ULANG TAHUN , OM CHARLES!

JALALUDDIN RUMI MENGGAPAI CINTA ILAHI DENGAN MENARI

KATA PENGANTAR : APA ITU BLOGGER DAN LATAR BELAKANG SEJARAHNYA

👀FOLLOWERS