9 Ulama Sufi Bergelar Syaikh yang Dikirim Sultan Turki Mengislamkan Jawa-Nusantara
Ulama Sufi Bergelar Syaikh yang Dikirim Sultan Turki Mengislamkan Jawa Nusantara
Ilustrasi para waliyullah dalam serial film Walisongo.
PADA sekitar abad ke-15, Kasultanan Turki Utsmaniyah (Ottoman) dipimpin oleh Sultan Muhammad Jalabi. Suatu ketika, beliau bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad, Rasulullah SAW.
Dalam mimpinya, Sultan Muhammad Jalabi ditunjukkan bahwa di wilayah timur yang kaya akan rempah-rempah dan sumber daya alam (SDA) akan berkembang pesat agama Islam, ajaran yang dibawa Baginda Rasulullah SAW.
Setelah bermimpi, Sang Sultan mencari informasi keberadaan negeri di wilayah timur yang kaya rempah-rempah. Pencarian pun ditemukan, yakni Nusantara dengan pusat pemerintahannya adalah Majapahit.
Menurut catatan dari berbagai sumber yang diperoleh historyofjava.com, Majapahit saat itu adalah negara adidaya dengan wilayah yang sangat luas dan makmur. Sebagian besar penduduknya memeluk agama Syiwa-Buddha.
Sultan Turki Utsmani, Muhammad Jalabi lantas meminta Kasultanan Pasai (negara Islam) yang saat itu masuk wilayah Majapahit Raya untuk ikut memuluskan misi pengislaman di Tanah Nusantara. Misi itu dilakukan untuk menjawab mimpi Sang Sultan saat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.
Di Pasai, ulama yang diutus menghadap Sultan Turki Ottoman adalah Maulana Malik Ibrahim. Dari hasil musyawarah yang dilaksanakan di Turki, muncul kesepakatan untuk mengirim sembilan ulama yang akan diberikan mandat untuk menyabarkan agama Islam di bumi Nusantara. Sembilan ulama itu adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim
2. Syaikh Jumadil Kubro
3. Syaikh Malik Isra'il
4. Muhammad Ali Akbar
5. Syaikh Subakir
6. Syaikh Maulana Maghribi
7. Syaikh Ishaq
8. Syaikh Hasanuddin
9. Syaikh Aliyuddin
Maulana Malik Ibrahim selanjutnya dikenal dengan Sunan Gresik. Beliau adalah adik Syaikh Jumadil Qubro (Syaikh Jamaluddin Syah Jalal), sedangkan Syaikh Malik Isra'il, Muhammad Ali Akbar, Syaikh Subakir dan Syaikh Maulana Maghribi adalah putra-putra Syaikh Jumadil Kubro.
Siapa Sultan Muhammad Jalabi (Mehmed 1), Sang Penguasa Turki Ottoman itu? Beliau adalah kakek Sultan Muhammad Al Fatih (Mehmed II) yang dikenal sebagai sang penakluk Konstantinopel.
Para ulama sufi utusan Sultan Turki itu berangkat dari Turki ke Jawa sekitar tahun 808 Hijriah. Tujuan utamanya mengislamkan Jawadwipa, pusat pemerintahan Majapahit yang perkasa.
Perluasan Kasultanan Turki
Selain mengemban misi mengislamkan Jawa, kesembilan ulama itu diminta ikut membantu memperluas pengaruh Kasultanan Turki hingga ke Jawa. Dengan kata lain, Majapahit diminta tunduk di bawah kekhalifahan Turki.
Namun, kesembilan ulama tersebut menolak. Sultan Turki lupa bahwa mereka adalah ulama sufi yang tidak tertarik terjun di dunia kekuasaan atau politik. Tapi jika bertugas untuk dakwah, mereka menyambutnya dengan senang hati.
Akhirnya, Sultan mengirim rombongan prajurit Turki di bawah pimpinan Muhammad Galbah. Ia ditugaskan khusus untuk melakukan perluasan kekuasaan Turki Utsmani.
Tapi, mereka tidak tahu jika keadaan Majapahit dalam posisi genting, yakni perang saudara antara Majapahit Wetan (Bhre Wirabhumi) dan Majapahit Kulon (Bathara Prabu Wikramawardana). Perang saudara itu dikenal dengan Perang Paragreg.
Berhadapan Cheng Ho utusan Dinasti Ming
Pada saat yang sama, pasukan dari Kekaisaran Tiongkok (China) dari Dinasti Ming yang dipimpin Laksamana Cheng Ho hadir dengan tujuan yang sama, yakni mengislamkan kawasan Nan Yang (Asia Tenggara), termasuk Jawa-Nusantara.
Namun, diam-diam, Cheng Ho juga menyimpan misi lain, yakni penguasaan rempah-rempah yang nilainya sangat mahal. Maka menguasai Nusantara berarti menguasai rempah-rempah.
Maka ketika pasukan Turki datang ke Jawa, mereka dihadang pasukan Cheng Ho menggunakan kekuatan Majapahit Kulon yang waktu itu sudah menjalin persahabatan dengan kekaisaran Dinasti Ming. Persahabatan Majapahit Kulon waktu itu diberikan kepada kekaisaran Dinasti Ming, karena pasukan Cheng Ho sempat dihabisi pasukan Majapahit karena dikira membantu pasukan Majapahit Wetan dalam perang Paragreg.
Selanjutnya, islamisasi di Jawa-Nusantara diisi oleh tokoh-tokoh berpengaruh yang berafiliasi dengan jaringan Nan Yang. Ketika para ulama-ulama pilihan dari Turki wafat, Syekh Subakir memutuskan untuk kembali ke Persia. Baca Juga : Mengenal-syaikh-junaid-al-bhagdadi
Sementara Syaikh Maulana Magribi masih tinggal di Jawa. Beliau ini selanjutnya memiliki putra bernama Kidang Telangkas atau yang dikenal dengan Joko Tarub. (*) Sumber : History of Java
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH KEPADA ANDA JIKA BERKENAN BERKOMENTAR BLOG INI.....