KONDISI GENTING NABI DAN SAHABAT PERNAH TERPAKSA MELEWATKAN SHALAT WAJIB

Kondisi Genting, Nabi dan Sahabat Pernah Terpaksa Melewatkan Shalat Wajib
Dikarenakan keadaan yang genting sehingga terpaksa shalat harus ditunda dan dilaksanakan pada waktu berikutnya. Hal ini terjadi pada saat perang Khandak, salah satu perang terberat yang dialami oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabat.

Perang ini berlangsung pasca umat Islam kehilangan banyak kekuatan pada saat perang Uhud. Banyak sahabat yang gugur syahid dan tentu saja biaya untuk menyokong peperangan sangatlah menipis untuk mengatakan tidak ada.

Apalagi perang ini adalah perang konfederasi Kafir Quraisy dengan kelompok Yahudi Madinah. Menurut perhitungan mayoritas ulama ahli tarikh, jumlah umat Islam adalah 3.000 orang melawan 10.000 tentara gabungan musyrikun mekkah dan yahudi Madinah. Su’udi malah berpendapat bahwa jumlah sebenarnya tentara musuh itu 24.000 orang.

Moral tentara kafir quraisy sangatlah tinggi, 100 persen yakin menang karena di perang Uhud mereka berhasil mengobrak abrik pasukan muslimin, bahkan paman Nabi, Hamzah Ra. yang menjadi pioner umat Islam pun syahid.

Sebaliknya pihak muslimin mengalami banyak kehilangan dalam peperangan Uhud itu, ghanimah jelas tak dapat, moral umat Islam bisa dibilang turun drastis.

Perang tak seimbang dalam segi jumlah ini tak akan dimenangkan umat Islam tanpa taktik yang bagus dan rasional. Kalau face to face berhadapan pasti kaum muslimin akan kalah telak. Hingga Salman al-Farisi punya ide agar dibuat parit sehingga parit itu bisa menghalau musuh, terutama yang berkuda. Peperangan yang juga pengepungan kota Madinah ini terjadi selama 27 hingga 30 hari an.

Untuk memotret betapa beratnya perang Khandaq ini bisa disimak ketika para sahabat kelaparan beberapa hari tidak makan. Bahkan banyak di antara mereka yang menali batu ke perutnya karena saking laparnya. Jabir Ra. dalam riwayat Bkuhari bab Ghazwatul Khandaq (silahkan dicek) pun bilang, sudah 3 hari terakhir ini kami belum makan. Bahkan Rasulullah Saw. sendiri menali batu pada perutnya untuk menahan lapar.

Dan umat Islam pun dituntut untuk bisa fokus selama berhari-hari peperangan itu. Bayangkan musuh bisa datang dari arah mana saja kapan saja, pemanah pun tak lepas dari tangan yang menarik busur.

Rasa pegal linu, capek, stres dan kesemutan saat menggali parit itu belum hilang, sudah ditambah dengan datangnya ribuan musuh yang jumlahnya berlipat ganda dibanding jumlah kaum muslimin.

Di saat yang terberat itu, Umar Ra. berkata kepada Nabi kalau dirinya belum shalat ashar, dan nabi pun bersabda, “Demi Allah, aku sama sekali belum shalat Ashar”. Dan saat mendapatkan kesempatan, nabi pun shalat ashar pada saat matahari sudah tenggelam.

Dalam hadis Turmudzi dari Ibnu Masud Ra., disebutkan bahwa Rasulullah terhalang untuk melaksanakan empat shalat dan semuanya dikerjakan pada satu waktu, yaitu pada waktu maghrib. Namun hadis ini terputus sanadnya sehingga para ulama pun memegangi bahwa nabi hanya mengakhirkan satu shalat saja yaitu shalat ashar.

Sedikit catatan, bahwa situasi ini terjadi sebelum perintah tentang shalat khauf turun, sehingga sekarang ini meskipun dalam perang sebisa mungkin harus melaksanakan shalat khauf.

Yang asyik itu sebenarnya disini, ketika orang musyrik itu datang dengan tentara yang 3 kali lipat lebih banyak dari umat muslim, mengapa nabi harus pakai taktik menggunakan parit? Bukankah nabi dan umat Islam senantiasa dijaga oleh malaikat? Harusnya nabi dan para sahabat langsung saja menghadang mereka di luar kota Medinah karena bantuan malaikat pasti ada bukan?

Nabi tak akan pernah kalah dan tak akan bisa wafat dalam melawan musuh itu. Ada Jibril di sampingnya. Bukankah begitu?

Tapi mengapa nabi malah memasang taktik perang? Mengapa nabi repot-repot mengajak musyawarah para sahabat sehingga harus menerima usul Salman Al-Farisi untuk membuat parit, hingga umat Islam harus susah payah menggali parit? Bukankah nabi bisa meminta bantuan malaikat atau meminta petunjuk wahyu untuk cara yang lebih baik?

Bahkan nabi dan para sahabat pun harus susah payah berunding dengan beberapa kelompok Yahudi Madinah agar tidak mengkhianati perjanjian damai sehingga mereka tidak membantu pasukan Quraisy.

Mengapa jalannya perang harus serumit ini? Bukankah doa nabi selalu terkabulkan? Mengapa nabi tidak berdoa saja memohon didatangkan pasukan malaikat sehingga umat Islam tinggal duduk manis meringis melihat kehancuran kafir Quraisy?

Dan yang penting disini, mengapa nabi dan para sahabat disibukkan oleh kaum musyrik sehingga melewatkan shalat ashar? Apakah saking takutnya kepada musuh sehingga shalat pun harus dilewati? Mengapa nabi dan para sahabat tidak shalat saja sehingga ketika mereka wafat di medan perang semua menjadi syahid? Bukankah hidup dan mati itu ada di tangan Allah?

Mengapa nabi dan sahabat tidak masuk ke masjid saja untuk memohon pertolongan kepada Allah? Malah diam di parit-parit hingga waktu shalat terlewati?

Pembaca yang budiman. Pertolongan Allah itu pasti datang dan pasti ada. Tapi nabi dan para sahabat itu mengajarkan kepada kita bahwa dalam hidup ini ada Sunnatullah. Ada rasionalitas. Ada hal-hal yang memang harus diselesaikan secara logis.

Ingatkah kita saat Nabi berdakwah di Taif? Apa yang terjadi di sana? Nabi diusir dan dilempari dengan batu. Lalu Jibril tidak terima dan hendak mengangkat gunung untuk menimpakannya kepada penduduk Taif. Bagaimana respon nabi? Nabi bersabda, Jangan! mereka adalah umat yang tidak tahu.

Bukankah nabi bisa saja membiarkan malaikat itu menimpukkan gunung ke kaum taif, sehingga masyarakat arab pun otomatis masuk islam menerima dakwah nabi bukan? Tapi mengapa nabi tak melakukannya?

Aku malah berfikir begini, sebenarnya nabi itu ingin mengajari kita bahwa menjadi muslim itu juga harus masuk akal. Berdakwahnya nabi itu jangan ada campur tangan malaikat.

Bahwa nabi itu hidup bukan untuk dirinya sendiri, melainkan mengajari kepada umatnya tentang hal-hal yang masuk akal. Kalau malaikat terus menerus ikut campur tangan pada saat nabi hidup, lha nanti penerusnya bagaimana?

Pembaca yang budiman. Hidup itu anugerah terbesar dari Allah, tanggungjawab menjaganya sangatlah besar sehingga orang yang bunuh diri atau membunuh orang lain dengan sengaja itu berdosa besar, auto neraka jalur prestasi.

Oleh karenanya, berhati-hati dalam menjaga diri itu wajib dan menjaga hal wajib itu ibadah. Jika ada kemungkinan kematian, maka disanalah muncul dharuri, dimana nyawa harus diutamakan. Ketika ada bahaya, para ulama pun mewajibkan untuk membatalkan shalat dan menyelamatkan diri atau menyelamatkan orang yang meminta bantuan.

Terus ada orang yang lebih memilih lanjut shalat di masjid ketika ada gempa, padahal ada kesempatan untuk menyelamatkan diri dan mengulangi shalatnya. Dan dia beranggapan bahwa dengan mati di masjid saat ada gempa padahal bisa menyelamatkan diri ini adalah syahid.

Jangan takut pada kematian katanya, lha memang kita tidak boleh takut mati, tapi kita punya tanggungjawab diberi nyawa yang bagaimanapun keadaanya harus dinomorsatukan.

Kalau memang syariat membuat kematian sebagai tolok ukur ketaatan dan keimanan mengapa orang sakit tidak boleh puasa? Harusnya orang sakit puasa saja sampai mati biar syahid kan? Mengapa kalau hendak haji tapi di jalan tidak aman, maka kewajiban hajinya gugur. Harusnya syariat bilang lanjut saja kan biar kalau mati jadi syahid.

Mengapa pada saat dharurat tidak ada makanan kecuali makanan haram, maka makanan haram itu boleh bahkan wajib dimakan sampai adanya makanan halal? Bukankah seharusnya kalau sampai mati kelaparan demi menjaga diri dari makanan haram bisa disebut mati syahid?

Sayangnya kita tidak bisa membedakan antara takut mati dengan kewajiban menjaga nyawa.

Ketika masjid ditutup karena darurat wabah yang memang oleh para ahli disebut membahayakan, itu bukan berarti para ulama takut kematian dan menghalangi kamu mati syahid. Mereka itu hanya berusaha bertanggungjawab pada umat bahwa menjaga nyawa para umat itu adalah kewajiban utama. Baca Juga : Kisah-inspiratif-jendral-khalid

Kemarin di medsos saya dengar ada kaum konservatif bilang, masjid jangan sampai di tutup karena ada malaikat menjaganya. Virus tak akan pernah bisa masuk. Lha kalau begitu mengapa pasien di rumah sakit itu tak dibawa di masjid saja? Biar virusnya otomatis kabur?
Penulis: Didik Andriawan, kuliah di jurusan Tafsir di Necmettin Erbakan Üniversitesi, Turki.


Comments

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Kirim E-mail anda dapatkan artikel berlangganan gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY SIULAN TRIBUN MANIA ||| siulantribunmania@gmail.com

☇POPULAR POST

MAN ARAFAH NAFSAHU FAKAD ARAFAH RABBAHU

AL-GHAZALI DAN JIDAT HITAM

SELAMAT ULANG TAHUN , OM CHARLES!

JALALUDDIN RUMI MENGGAPAI CINTA ILAHI DENGAN MENARI

KATA PENGANTAR : APA ITU BLOGGER DAN LATAR BELAKANG SEJARAHNYA

👀FOLLOWERS